Disiplin Bukan Hukuman: Cara Siswa SMP Jadi Tertib Tanpa Dipaksa
Di benak sebagian besar siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP), kata disiplin seringkali berkonotasi negatif, identik dengan hukuman, sanksi, atau teguran keras dari guru. Padahal, paradigma ini sudah usang. Saat ini, fokus pendidikan bergeser pada pembentukan kesadaran diri, menunjukkan bahwa Disiplin Bukan Hukuman, melainkan sebuah keterampilan hidup yang penting untuk kesuksesan pribadi dan sosial. Bagi siswa SMP, kunci menjadi tertib adalah memahami bahwa disiplin adalah pilihan yang membawa keuntungan, bukan kewajiban yang harus ditakuti. Proses ini melibatkan pengubahan cara pandang dari ketaatan karena paksaan menjadi ketaatan karena kesadaran akan manfaatnya.
Pergeseran Paradigma: Disiplin Positif
Pendekatan modern yang banyak diterapkan di sekolah-sekolah unggulan adalah “Disiplin Positif.” Konsep ini menekankan pada pengajaran, bukan penghukuman. Saat siswa melanggar aturan, fokusnya bukan pada berapa kali dia harus dihukum, melainkan pada pemahaman mengapa aturan itu penting dan apa dampak dari tindakannya. Misalnya, ketika siswa terlambat mengumpulkan tugas, sekolah tidak langsung memberikan nilai nol. Alih-alih, siswa diajak berdiskusi oleh Guru Bimbingan Konseling (BK), Ibu Lestari Prawiro, S.Pd., pada sesi konseling individu yang diadakan setiap Rabu pukul 10.00 WIB.
Dalam sesi tersebut, dibahas dampak keterlambatan pada alur penilaian dan proses belajar teman sekelas, dan siswa diminta merancang solusi pribadi yang realistis, misalnya membuat checklist tugas pada papan tulis kecil di kamarnya. Dengan demikian, siswa belajar dari kesalahan dan bertanggung jawab atas solusi yang dia buat sendiri. Pendekatan ini memperkuat pesan bahwa Disiplin Bukan Hukuman, melainkan pelajaran.
Peran Konsistensi dan Contoh Nyata
Kunci keberhasilan pendekatan ini terletak pada konsistensi para pendidik. Di SMP Dharmawangsa, yang terletak di Jalan Merdeka No. 45, misalnya, seluruh staf pengajar, mulai dari Kepala Sekolah hingga Petugas Kebersihan, menerapkan standar kedisiplinan yang sama. Pada Senin pagi pukul 06.30 WIB, semua guru sudah berada di gerbang sekolah untuk menyambut siswa, menunjukkan ketepatan waktu.
Selain itu, sekolah ini memegang teguh prinsip konsekuensi logis. Jika seorang siswa merusak properti sekolah, seperti mencoret meja belajar, konsekuensinya bukan sekadar membersihkan coretan, tetapi juga mengecat ulang meja tersebut. Tindakan ini menanamkan kesadaran akan nilai materi dan usaha yang dibutuhkan untuk memperbaiki kerusakan. Dalam hal ini, Disiplin Bukan Hukuman yang bersifat balas dendam, tetapi upaya perbaikan yang menumbuhkan rasa tanggung jawab.
Membangun Lingkungan yang Mendukung Ketertiban
Lingkungan sekolah dan rumah memiliki peran krusial. Siswa SMP, terutama yang berada di masa transisi, cenderung meniru lingkungan mereka. Sekolah yang bersih, rapi, dan teratur tanpa banyak pengawasan berlebihan mengirimkan pesan implisit bahwa ketertiban adalah norma. Dalam sebuah penelitian akademik yang dipublikasikan pada Jurnal Pendidikan Anak dan Remaja di tanggal 20 September 2024, ditemukan bahwa tingkat ketertiban siswa secara mandiri meningkat hingga $40\%$ ketika lingkungan fisik sekolah terawat dengan baik dan guru menerapkan komunikasi asertif, bukan instruksi yang bersifat memaksa.
Siswa yang sadar akan manfaat ketertiban—seperti memiliki waktu luang yang lebih banyak, nilai akademik yang stabil, dan terhindar dari rasa panik—akan menjadikan disiplin sebagai kebutuhan, bukan beban. Memahami bahwa Disiplin Bukan Hukuman, melainkan kunci untuk meraih kebebasan dan penguasaan diri, adalah langkah fundamental bagi setiap siswa SMP untuk menjadi tertib tanpa perlu dipaksa.
